Obrolan di Dhoho Penataran

Bagi pembaca yang tinggal di Jawa Timur khususnya di kawasan segitiga Malang, Blitar dan Surabaya mungkin sudah tidak asing lagi dengan Kereta Api Dhoho Penataran. Dhoho Penataran adalah kereta komuter yang melayani rute Surabaya - Blitar - Malang - Surabaya. Dengan tarif yang murah tentu Dhoho Penataran menjadi favorit di jalurnya. Penumpangnya pun bervariatif mulai dari pelajar hingga tiyang sepuh pun banyak yang menjadi pelanggan Dhoho Penataran.

Saya berkesempatan menaiki Dhoho Penataran pada bulan Mei tahun lalu. Saya melakukan perjalanan dari Klaten ke Malang dengan sistem transit. Dari Klaten ke Kediri saya naik KA Kahuripan disambung naik Dhoho Penataran ke Malang. Dengan cara seperti ini saya hanya merogoh kocek tak sampai 100 ribu untuk sampai ke Malang.

Saya mendapatkan tiket dengan tulisan tertera “tanpa kursi”. Dengan demikian dari saya harus berdiri atau duduk lesehan dari Kediri sampai ke Malang. Sebenarnya saya sempat dapat kursi saat naik dari Stasiun Kediri, tetapi setelah sampai di Tulungagung pemilik kursi datang. Saya akhirnya berjalan menyusuri gerbong kereta untuk mencari tempat yang pas. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang bapak-bapak ( atau mas-mas ) yang saya prediksi usianya 30 tahunan. Dia ternyata tidak datang seorang diri. Dia naik dengan istri dan kedua anaknya. Sebenarnya beliau mendapatkan jatah kursi, tetapi beliau sengaja mengalah dengan orang lain dan memilih berdiri saja.

“Yang penting anakku duduk mas, kasihan juga kalau harus berdiri. Ini pertama kali mereka naik kereta api. Aku tadi naik dari Surabaya Gubeng dan nanti mau turun di Bangil”

Saya terkejut mendengar perkataan beliau. Padahal normalnya dari Surabaya ke Bangil itu gak perlu muter jauh-jauh ke Blitar. Setelah saya tanya kenapa kok muter jauh cuma buat dari Surabaya ke Bangil, katanya cuma pengen ngajak anaknya naik kereta api.

“Cuma pengen ngenalin anakku sama kereta api mas, sekalian biar bisa ketemu banyak orang.”

Oh ya, anak beliau keduanya perempuan. Satunya kelas 6 SD dan satunya kelas 1 SD. Jadi beliau naik kereta murni karena bener-bener pengen naik keretanya, bukan karena ada tujuan tertentu. Beliau bertanya balik kepada saya soal kehidupan pribadi saya. Saya sebenarnya tipikal orang yang tidak mau bercerita soal pribadi ke orang asing di kendaraan umum, tapi melihat bapak ini orang baik jadi saya ceritakan saja sejujurnya.

“Saya ini cuma TKI, Pak. Kebetulan ini sedang cuti. Tapi selain itu saya juga nyambi sambung kuliah walaupun baru mulai di usia 22.”

Bapak tersebut segera menimpali “Wah sampeyan lebih beruntung daripada saya. Saya aja juga mulai kuliah tahun kemarin.”

Saya lagi-lagi kaget, ternyata bapak tersebut satu almamater dengan saya. Oh iya, saya lupa menanyakan siapa nama beliau, mungkin biar enak saya akan menyebutnya pak X saja ya. Saya betul-betul salut dengan pak X. Disaat usianya sudah berkepala tiga dan sudah punya dua anak, hasrat beliau untuk menuntut ilmu tidak luntur. Bahkan beliau menambahkan, “Aku punya target harus S2 sebelum anakku masuk kuliah”.

Saya semakin nyaman ngobrol dengan beliau. Dibalik dandanannya yang awalnya saya lihat seperti preman tapi ternyata banyak wejangan yang keluar dari mulut pak X. Saya hanya bisa mendengarkan dengan sesekali mengangguk setuju. Inti dari wejangannya tak jauh-jauh dari memberi semangat untuk terus menuntut ilmu. Beliau mengaku dari SMP ke SMA sempat tertunda setahun, dan dari SMA ke kuliah tertunda bertahun-tahun. Barulah setelah dirasa memiliki finansial yang cukup beliau memutuskan melanjutkan kuliah lagi.

“Aku nggak ngejar ijazah, Mas, Cuma hidupku ini kerasa sia-sia kalau nggak dipakai menuntut ilmu & berpetualang”

Beliau juga menunjukkan foto saat riding dengan istrinya ke beberapa lokasi, bahkan beliau juga pernah sampai ke Pulau Lombok.

“Hidup ini sementara, Mas. Rugi kalau nggak sempet jalan-jalan & nyari ilmu.”

Andaikan saya gak harus turun di Malang, mungkin saya pengen ngelanjutin obrolan saya sampai pak X turun, sayangnya saya harus turun karena kereta sudah sampai di Malang. Uang 15 ribu yang saya keluarkan untuk tiket Kediri-Malang terasa sangat murah jika dibandingkan pelajaran pada hari itu. Saya benar-benar bertemu dengan pak X yang menjadi contoh bahwa mencari ilmu tidak pernah ada kata terlambat. Sehat selalu pak X. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narendra, Setiap Kayuhannya Tersirat Keadilan Untuk Korban Kanjuruhan

Catatan Perjalanan : Trip Tanpa Rencana

Bus di Sekitaran Jalanan Jogja - Solo