Membahas Soal Manuver LMKN Yang Semakin Wagu
Belum lama ini media masa dipenuhi berita soal salah satu waralaba restoran di Indonesia yang tersandung masalah royalti karena memutar musik di gerai-gerainya. Pada akhirnya kasus ini berakhir damai dan waralaba restoran tersebut bersedia membayar uang royalti sebesar 2,2 Milyar rupiah kepada SELMI. SELMI sendiri adalah Sentra Lisensi Musik Indonesia yang merupakan salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Akibat adanya peristiwa tadi, banyak kafe dan restoran yang sebelumnya sering memutar musik kini menggunakan cara lain sebagai cara untuk menghibur pengunjung restoran yang salah satunya adalah memutar suara burung, alam ataupun suara lain yang intinya tidak ada unsur musiknya. Apakah kemudian masalah selesai? Tidak juga. Dilansir dari Detik.com Komisioner LMKN Bidang Lisensi dan Kolekting, Jhonny W. Maukar mengatakan bahwa suara burung yang berasal dari perekaman ulang harus membayarkan royalti kepada pihak perekam. Sementara royalti tidak perlu dibayarkan jika suara burung itu merupakan suara alamiah alias suara burung. Ya benar, burung beneran. Artinya restoran harus menggantung banyak burung di dalam restoran demi memeriahkan suasana restoran tanpa harus takut kena masalah soal royalti lagi.
Sampai disini saya ingin sedikit mengemukakannya pendapat saya. Jujur, harus saya akui saya setuju soal restoran yang memutar musik dari penyanyi tertentu harus membayar royalti. Soalnya kan ini ada unsur komersialnya dan bukan untuk dinikmati secara pribadi. Jadi nggak salah kalau restoran harus membayar sejumlah royalti karena memang restoran mendapatkan keuntungan dari sini. Perkara suara burung saya gak bisa menentukan ini betul atau tidak. Nyatanya siapapun bisa merekam suara burung maupun suara lainnya yang berasal dari alam. Kalau saya jadi pemilik restonya bakal ngakali dengan cara merekam sendiri suara burung kemudian memutarnya di restoran. Kalau disuruh bayar royalti ya bayar aja ke diri sendiri. Toh kita sendiri yang ngerekam.
Ada lagi hal yang menurut saya nggak kalah wagu. Yaitu soal beberapa hotel di Mataram yang ditagih royalti dengan alasan ada TV di dalam kamarnya. Sumpah ini menurut saya bener-bener wagu. Hotel itu udah banyak banget tanggungan pajak yang harus dibayarkan. Belum lagi soal bisnis mereka yang kembang kempis karena kadang ada aja hal yang bikin merosotnya orang yang berwisata. Ehh ini malah kena persoalan royalti di TV. Jujur aja nih ya, TV adalah salah satu fasilitas hotel yang jarang saya gunakan ketika sedang menginap di hotel. Urusan hiburan biasanya ya buka HP dan semuanya sudah ada di dalam HP. Saya yakin sekali banyak orang yang juga seperti saya. Lha wong sekarang aja orang yang hobi nonton TV makin sedikit, belum lagi banyak Chanel TV yang bisa diakses secara streaming.
Masih soal royalti karena ada TV di hotel. LMKN beralasan hotel harus dimintai royalti karena bisa saja orang mendengarkan musik dari TV. Gini ya bapak-bapak LMKN yang terhormat, kayaknya acara musik di TV itu udah nggak banyak. Kebanyakan ya gosip, berita, kartun ataupun kuis. Jarang banget acara musik di TV sekarang. Kebanyakan orang dengerin musik udah lewat Spotify atau minimal YouTube, Pak. Udah jarang dengerin musik lewat TV.
Beberapa pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan pun mengeluhkan hal ini. Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, kebanyakan mengeluh karena beban yang mereka tanggung udah berat. Beberapa juga menganggap TV bukan alat pemutar musik sehingga bukan objek royalti. Kewajiban hotel membayar royalti karena di dalam kamar ada TVnya berpotensi menjadi hal yang sia-sia.
Saya masih berusaha berpikir positif kalau semua hal ini dilakukan LMKN demi melindungi industri musik di tanah air. Tapi hambok ya jangan kebangeten to, Pak.
Komentar
Posting Komentar