Jadi Suporter Bola Itu Banyak Hal Yang Dikhawatirkan : Mulai Dari Nggak Berani Pakai Jersey Kebangaan di Kota Orang Sampai Was-was Timnya Pindah Homebase
Belasan tahun sudah saya menjadi suporter sepakbola tepatnya sejak tahun 2007, selama belasan tahun itu pula saya sering memperhatikan dinamika sepakbola Indonesia khususnya di dunia persuporterannya. Sepakbola memang tidak bisa dipisahkan dari suporter. Sepakbola bisa lebih berasa berwarna dan asik dinikmati berkat aksi suporter yang sering memperlihatkan koreografi dan nyanyian dari tribun. Tanpa suporter, sepakbola bakalan terasa lebih hambar.
Tim yang saya dukung sejak 2007 adalah Persis Solo. Berasal dari Klaten membuat saya mudah untuk menjangkau Kota Solo sehingga turut juga jatuh cinta kepada tim asal kota tersebut. Entah sudah berapa puluh kali saya nonton bola di Manahan. Yang jelas saya hampir mengikuti setiap dinamika yang menerpa tim Persis Solo mulai dari era Liga Djarum, tercecer di papan bawah divisi utama sampai hampir degradasi ke Divisi 1, sempat mengalami dualisme, kompetisi yang dibekukan, era Liga 2 hingga sekarang Persis Solo berkompetisi di kasta tertinggi persepakbolaan tanah air.
Namun tak selamanya menjadi suporter itu selalu bahagia. Terkadang ada beberapa hal yang membuat kita khawatir. Yang pertama adalah soal rivalitas. Masa awal saya menjadi suporter Persis adalah ketika Pasoepati ( Salah satu kelompok suporter Persis Solo ) memiliki rivalitas yang kuat dengan Bonek Mania ( Pendukung Persebaya Surabaya ) dan Brajamusti ( Pendukung PSIM Yogyakarta ). Gara-gara rivalitas tersebut, bapak saya seringkali menyuruh saya agar tidak mengenakan atribut berbau Persis Solo ataupun Pasoepati saat sedang berkunjung ke rumah budhe saya yang berada di Kota Yogyakarta. Kalau saya nekat memang cukup beresiko. Misal ketemu orang yang baik-baik mah gak masalah, lha jajal kalau ketemunya orang brutal dan gak bisa berpikir panjang, bisa terancam nyawa saya. Padahal yang saya lakukan hanyalah mengenakan atribut tim kebanggaan, tapi bisa beresiko kehilangan nyawa. Hal yang sama juga terjadi di Jakarta-Bandung hingga Surabaya-Malang. Intinya jangan coba-coba pakai jersey klub favorit sampeyan kalau ndilalah lagi jalan ke wilayah rival.
Puji syukur suporter Persis Solo dan PSIM Yogyakarta kini sudah menyatakan ikrar damai. Ikrar damai yang saya harapkan bisa bertahan selamanya, bukan hanya sebagai euforia sesaat saja. Kan tujuan awal olahraga sepakbola salah satunya buat hiburan to, mas? Hiburan macam apa yang sampai mengancam nyawa. Sudahilah fanatisme buta itu. Mau berapa nyawa lagi yang menghilang hanya gara-gara sepakbola?
Kekhawatiran selanjutnya adalah soal mudahnya jual-beli lisensi klub di negeri ini. Yang jadi korban siapa? Suporter tentunya. Saya ambil contoh Martapura FC. Klub yang berasal dari Kalimantan Selatan ini bisa dibilang memiliki cukup banyak pendukung. Sayangnya kiprah Martapura FC di persepakbolaan Indonesia hanya bertahan sampai 2021 karena klub tersebut diakuisisi dan diubah namanya menjadi Dewa United. Kolom komentar Instagram Martapura FC saat itu dipenuhi kekecewaan, kesedihan hingga sumpah serapah fans Martapura FC. Padahal kiprah Martapura FC di Divisi Utama sampai Liga 2 nggak buruk-buruk amat. Beberapa kali mereka lolos hingga babak 8 besar juga tim ini belum pernah kalah dari Persis Solo. Sayang sekali Persis Solo belum sempat membalas kekalahan menyakitkan atas Martapura FC di babak 8 besar Liga 2 2017, tapi klubnya malah keburu bubar duluan.
Bukan hanya fans Martapura FC. Suporter klub lain terutama yang finansial klubnya masih kembang-kempis agaknya juga merasakan khawatir kalau klub kebanggaan mereka sampai hilang karena udah diakuisisi klub lain. Terbaru Persikas Subang pada akhirnya harus menghilang dari Liga 2 karena diakuisisi dan pindah ke Sumatera Selatan menjadi Sumsel United. Sebuah ironi karena di Sumatera Selatan sendiri sudah ada Sriwijaya FC yang dimana Sriwijaya FC sendiri adalah sebuah klub yang sebelumnya bernama Persijatim Solo FC.
Dinamika sepakbola memang terus berjalan. Tetapi jual-beli lisensi klub hendaknya dihentikan total karena merusak sejarah klub tersebut. Berapa banyak klub dengan sejarah panjang pada akhirnya harus menghilang begitu saja karena praktek seperti ini. Dalam hal ini, saya sebagai pendukung Persis Solo sebenarnya tidak perlu khawatir kalau Persis Solo bakal mengalahkan nasib seperti ini. Menurut statuta PSSI ada 7 klub yang dilarang mengganti nama dan logo dimana Persis Solo adalah salah satunya. Karena itu Persis Solo bisa dibilang aman dari akuisisi apapun keadaannya.
Terkadang saya sendiri merasa sedih melihat teman-teman suporter yang begitu bahagia karena klubnya bisa promosi ke Liga 2 atau Liga 1, tapi nggak lama kemudian klubnya harus menghilang karena pindah wilayah dan ganti nama. Semoga PSSI bisa segera menghentikan praktek seperti ini, minimal ya regulasinya diketatkan lagi lah.
Komentar
Posting Komentar