Raya Mati Terbunuh dan Kita Adalah Pembunuhnya

Beberapa hari pasca peringatan ke-80 Hari Kemerdekaan RI kita sudah disajikan berbagai berita yang mampu menguras emosi serta menyayat hati kita. Berita-berita yang seolah sudah menjadi makanan sehari-hari kita sebagai WNI. Berita pertama yang mungkin menguras emosi kita sebagai rakyat Indonesia adalah kenaikan beberapa tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR RI yang salah satunya berupa tunjangan rumah mencapai 50 juta rupiah. Apabila ditotal pendapatan sebagai anggota DPR RI mencapai 100 juta rupiah per bulan. Per bulan lho pemirsa, sekali lagi per bulan. Duit sebanyak itu belum tentu bisa kita dapatkan selama setahun penuh.

Dari artikel yang saya baca di Tempo, wakil ketua DPR Adies Kadir mengatakan bahwa Menteri Keuangan yaitu Bu Sri Mulyani merasa iba kepada anggota legislatif sehingga menaikkan beberapa komponen tunjangan. Gimana? Sampai sini udah mulai emosi? Kalau belum mari kita lanjut ke berita selanjutnya.

Berita selanjutnya yang menggegerkan masyarakat Indonesia adalah meninggalnya seorang anak berusia 3 tahun dari Sukabumi yang bernama Raya akibat infeksi cacing hingga menyerang otaknya. Sekedar informasi Raya ini adalah anak yang berasal dari kalangan kurang mampu. Raya kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya karena ibunya merupakan ODGJ dan ayahnya adalah penderita TBC. Alhasil raya tumbuh sebagai anak yang tidak mendapatkan perhatian dan asuhan yang layak sehingga seringkali bermain di tempat-tempat yang kotor.

Infeksi cacing diduga bersumber dari lokasi tempat bermain Raya yang kotor. Raya masih sempat bermain dengan teman-temannya seperti biasa sebelum jatuh sakit. Kondisinya memburuk dengan cepat dalam beberapa hari. Mirisnya, Raya hanya diobati secara tradisional dan pihak keluarga baru mengetahui tubuh raya dipenuhi cacing setelah Raya meninggal.

Kita Adalah Pembunuh Raya
Saya dengan berani dan jujur akan mengatakan itu. Kita semua adalah pembunuh Raya. Raya yang seharusnya tumbuh dengan ceria dan mendapatkan perhatian penuh ternyata harus berakhir dengan tragis, berakhir menyakitkan dan tersiksa. Semua karena ulah siapa? Ulah kita. Kita abai dalam memperhatikan lingkungan sekitar. Kita abai untuk peduli dengan apa yang ada di kanan kiri kita. Kita seolah lupa bahwa meskipun kita sudah hidup berkecukupan, masih banyak yang perlu untuk kita bantu. Mungkin, masih ada ribuan Raya-raya lain di negeri ini yang memerlukan uluran tangan kita tapi kita memilih untuk tutup mata atau diam. Ya, kita adalah pembunuh raya.

Selain itu Raya terbunuh disaat anggota DPR sedang sibuk soal kenaikan tunjangan. Siapa yang memilih anggota DPR yang duduk di Senayan? Kita juga. Kita membunuh Raya dengan cara membiarkan orang-orang yang tak peduli dan tak berkompeten untuk duduk beralaskan kursi empuk di Senayan. Kebodohan kita dalam memilih sosok yang layak untuk mengemban amanah itu membuat anak kecil seperti Raya harus meregang nyawa.

Begitu pula mereka yang memegang kendali di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga negara tempat Raya tinggal. Bunyi pasal UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara hanyalah bunyi semata. Realitanya, pemerintah abai dan membiarkan semua ini terjadi. Menyedihkan bukan? Negara ini baru saja merayakan ulang tahun ke-80 kemerdekaannya, disisi lain anak seperti Raya masih belum merasakan apa itu arti kemerdekaan. Ingat, Raya tinggal di Sukabumi yang masih cukup dekat dari Jakarta. Bayangkan apa yang terjadi pada anak-anak di sisi timur Indonesia sana.

Dalam artikel ini saya ingin memberikan apresiasi dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Yayasan Rumah Teduh yang telah banyak membantu Raya untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak. Ya, dikala negara abai masih banyak tangan yang peduli. Dalam kasus Raya ini, pemerintah setempat seharusnyalah yang memberikan perhatian lebih. Faktanya, Yayasan Rumah Teduh justru lebih memperhatikan Raya. Bukti bahwa mereka yang duduk di kursi pemerintahan sudah lupa akan janji mereka saat berkampanye dahulu.

Tentu kita berharap bahwa kasus seperti ini tidak berulang lagi dan selanjutnya tidak ada Raya-raya lain yang mengalami nasib serupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekedar Nostalgia Masa Sekolah : One Plant

Orang Boleh Tidak Mengenal Klaten, Tapi Kabupaten Ini Lebih Layak Dijadikan Tempat Tinggal Pasca Pensiun Daripada Solo dan Jogja

Ngaku Jogja atau Solo Pas Ditanya Orang Darimana Asalnya Itu Bukan Karena Kita Nggak Cinta Klaten, Tapi Karena Yang Tanya Nggak Tau Kalau Klaten Itu Ada