Selepan, Hiburan Murah Masa Kecil

Jauh di masa sebelum saya punya hobi naik bis, saya dan kawan sepermainan masa kecil saya punya sebuah kebiasaan di setiap sore. Sebuah kebiasaan yang hanya ada di kampung yang jauh dari kehidupan kota. Kebiasaan itu adalah naik selepan. Bagi anda yang tidak tahu apa itu selepan, selepan adalah sebuah mesin penggiling padi. Biasanya setelah di panen, padi akan dipisahkan dari jerami menggunakan threser. Setelah itulah digiling menggunakan selepan yang akan menghasilkan gabah bersih. Selanjutnya digiling lagi menggunakan selepan yang akan mengubah gabah menjadi beras.

Dulu di masa saya kecil, di desa saya ada yang usaha menyewakan selepan. Beda dengan selepan rumahan, selepan tetangga saya ini lebih fleksibel karena pelanggan tidak perlu datang ke tempat penggilingan. Cukup order saja nanti bakal datang sendiri. Oke, sudah paham? Lanjut ke cerita.

Biasanya, sekitar jam 3-4 sore anak-anak sudah mengumpul di depan rumah saya ( Depan rumah saya saat itu masih sangat strategis untuk bermain anak - anak ). Kami setia menunggu kedatangan selepan yang baru saja pulang berdinas mengolah beras untuk makanan pokok manusia. Ketika selepan datang, kami bersama - sama berteriak "uduk uduk, uduk uduk". Kami menamai selepan dengan nama uduk uduk karena memang suara selepan itu duk duk duk karena bertenaga diesel. Setelah itu, dengan senang hati pak supir dan segenap crew dengan senang hati melayani kami. Pelayanannya pun lebih baik daripada pelayanan bus eksekutif manapun. Karena kalau bus eksekutif itu bayar, ini gratis lho lur. Kami ikutan ndompleng selepan itu sampai ke tempat garasi selepan tersebut. Setelahnya kami mengucapkan terima kasih dan kembali jalan pulang ke rumah masing - masing atau kadang melanjutkan bermain.

Awalnya, saya tidak pernah diijinkan oleh orang tua saya untuk ikutan ndompleng selepan. Karena saat itu dikhawatirkan bakal terjadi apa - apa karena saat itu saya masih usia kelas satu SD. Pada saat kelas satu SD pun polah saya sampai membuat judeg siapapun ( Ehh, kadang sekarang masih sering membuat orang lain judeg ding ). Tetapi ketika saat itu saya sedang diluar rumah dan ada selepan lewat disusul kawan - kawan saya pada naik, maka saya ikut - ikutan.

"Kowe wes diolehne bapakmu rung bi." Tanya salah seorang kawan ke saya.

"Rapopo kok." Jawab saya simpel.

Ternyata, naik selepan itu asik. Merasakan guncangan guncangan diatas penggiling padi itu menyenangkan. Mungkin inilah cikal bakal hobi saya naik bis tanpa tujuan. Saat itu kondisi jalan desa saya belum separah sekarang. Jadi nggak perlu takut jatuh karena selepan harus banyak goyang asalkan kita tetap berpegangan erat.

Pertama, kedua, aman aman aja. Ketiga, mulailah sebuah sejarah baru. Kala itu saya mencoba naik lagi karena tuman. Dasar memang bocah kakehan polah. Disuruh pegangan erat saya malah nekat naik hingga ke corong untuk memasukkan gabahnya. Ketika itulah saya salah berpijak dan brukk, saya jatuh tepat di rerumputan disusul kaki kanan saya terlindas ban belakang selepan tersebut. Teman - teman panik, crew selepan panik, orang - orang yang melihat juga panik. Mereka mengira saya cedera parah minimal patah tulang. Tetapi salah dugaan, saya masih bisa berdiri dan masih nekat naik ke selepan tetapi kali ini dipegang erat oleh salah satu crewnya.

Beruntung kejadian itu tidak diketahui orang tua saya yang membuat saya tetap bisa menikmati onboard selepan selanjutnya. Tetapi semua itu tak bertahan lama. Sejak kelas 3 SD, selepan kenangan itu tak lagi berdinas. Toh teman - teman sudah tak banyak yang naik lagi. Hanya menyisakan kenangan - kenangan masa kecil yang amat indah. Sebenarnya di desa saya muncul jasa selepan yang lain. Tapi kini anak anak jaman sekarang seolah tak mau naik benda itu lagi. Mereka sudah memilih gadget. Mungkin sayalah generasi terakhir yang masa kecilnya masih dipenuhi hal-hal sedikit ekstrem.

Ahh, andai saja selepan itu masih ada pasti akan saya foto dan upload di postingan ini.Tetapi selepan itu sudah entah kemana. Selepan itu bagi saya sudah merupakan bus Mila bledex di jalur Jogja - Banyuwangi. Dahulu legenda kini tinggal kenangan.

Terima kasih selepan, biarlah bus Sugeng Rahayu menggantikanmu sebagai transportasi favoritku saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narendra, Setiap Kayuhannya Tersirat Keadilan Untuk Korban Kanjuruhan

Ngaku Jogja atau Solo Pas Ditanya Orang Darimana Asalnya Itu Bukan Karena Kita Nggak Cinta Klaten, Tapi Karena Yang Tanya Nggak Tau Kalau Klaten Itu Ada

Orang Boleh Tidak Mengenal Klaten, Tapi Kabupaten Ini Lebih Layak Dijadikan Tempat Tinggal Pasca Pensiun Daripada Solo dan Jogja